Tidak Kantongi ISPO, Perusahaan Sawit Diancam Sanksi


Setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit diberi waktu hingga 31 Desember 2014 agar memiliki sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Bila hingga 1 Januari 2015 perusahaan belum memiliki sertifikat itu, setiap perusahaan perkebunan sawit dapat dikenakan sanksi oleh pemerintah.
Hal itu dikatakan Ketua Sekretariat Komisi ISPO, Rosediana Suharto. Salah satu sanksinya adalah penurunan kelas perusahaan. Hal itu akan berdampak terhadap bisnis perusahaan sawit tersebut.

Saat ini dari 2.500 perusahaan perkebunan yang sudah memiliki sertifikat baru 40 perusahaan. Ada 153 perusahaan yang sedang proses sertifikasi,” kata Rosediana saat ditemui di sela acara International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) 2014, di Denpasar, Bali, Kamis (13/2).
Oleh sebab itu, ia mengimbau seluruh perusahaan sawit untuk segera mengurus sertifikat ISPO. Ia mengingatkan, prosesnya membutuhkan waktu antara 3-6 bulan. Bila setelah pertengahan tahun baru mulai mengurus sertifikat, dikhawatirkan tidak akan selesai pada akhir tahun.
Ia mengatakan, proses untuk memperoleh sertifikat ISPO sebenarnya tidak terlalu sulit. Setiap perusahaan hanya perlu memenuhi persyaratan yang telah ditentukan Kementerian Pertanian. Setelah itu, perusahaan menunjuk lembaga sertifikasi yang sudah ada untuk dilakukan proses audit terhadap persyaratan-persyaratan yang ditentukan tersebut.
Hasil dari lembaga sertifikasi itu, menurutnya diberikan kepada Komisi ISPO. Selanjutnya, hasil audit itu akan disidangkan untuk ditentukan apakah perusahaan perkebunan yang mengajukan tersebut layak atau tidak mendapatkan sertifikat ISPO.
Rosediana menjelaskan, sertifikasi ISPO adalah suatu kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia dengan tujuan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia, serta mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan.
Ia menambahkan, dari 40 perusahaan yang telah mendapatkan ISPO tersebut tidak semuanya merupakan perusahaan besar. Ada juga yang masih tergolong perusahaan menengah bahkan kecil.
Ia menduga keengganan perusahaan perkebunan sawit mengurus sertifikasi ISPO lantaran belum memenuhi aspek legalitas yang dipersyaratkan. Mereka menunggu detik-detik akhir dan akan meminta kelonggaran dari pemerintah untuk menunda batas akhir sertifikasi ISPO.Namun, karena ISPO bersifat mandatory, bila perusahaan tidak memenuhinya maka pantas saja bila mendapatkan sanksi dari pemerintah.
Sanksi penurunan kelas bagi perusahaan sawit dikatakannya sudah cukup memberatkan. Selain berdampak pada bisnis sawitnya, perusahaan sawit yang turun kelas, menurut Rosediana, membutuhkan sekitar delapan tahun untuk bisa naik kelas lagi.
“Informasi yang beredar, Kementerian Perdagangan mengusulkan diberikan larangan ekspor sawit kepada perusahaan yang belum memperoleh sertifikasi ISPO hingga awal 2015. Tapi, menurut kami sebaiknya sanksi larangan ekspor itu jangan terlalu cepat diterapkan karena dapat menghambat perdagangan kelapa sawit,” ujarnya.
Menanggapi masih minimnya perusahaan perkebunan sawit yang telah mendapatkan maupun sedang mengurus sertifikasi ISPO. Direktur Eksekutif, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Fadhil Hasan mengatakan, perusahaan perkebunan sawit sudah siap untuk melakukan pengurusan. Namun, menurutnya permasalahan terletak pada perusahaan sertifikasi dan auditor yang akan melakukan audit terhadap perkebunan sawit.
Keterbatasan Auditor
Menurutnya, jumlah perusahaan dan auditor yang ada saat ini tidak memadai untuk meng-cover seluruh perusahaan sawit di Indonesia. Ia meminta pemerintah juga melihat permasalahan sebagai sebuah kendala mengapa masih sedikit perusahaan yang mendapatkan sertifikat ISPO.
“Pemerintah jangan hanya menyalahkan perusahaan perkebunan sawit, tapi juga ada permasalahan pada keterbatasan auditor di lapangan. Kalau kami siap kapan saja,” ujar Fadil saat ditemui dalam Konferensi International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) 2014, di Bali, Kamis (13/2).
Di tempat yang sama, Ketua Umum GAPKI, Joefly Bachroeny, meminta pemerintah agar lebih bijak melihat persoalan dalam penerapan sertifikasi ISPO. Menurutnya, kendala utama yang ditemui pengusaha adalah, persoalan mempersiapkan berbagai persyaratan yang diminta untuk memperoleh sertifikasi tersebut.
Namun, ia menegaskan pada prinsipnya GAPKI mendukung kebijakan sertifikasi ISPO ini. Hal itu dapat mendorong upaya menghasilkan produk yang berkelanjutan. Sebagai salah satu produsen sawit terbesar di dunia, wajar saja bila Indonesia memiliki standard sendiri terhadap produk yang dihasilkannya.
“Tapi karena penerapan sertifikasi ISPO dengan deadline per 31 Desember 2014 yang bersifat mandatory, karena itu seharusnya dilihat secara bijaksana. Kami siap saja, tetapi ada keterbatasan terutama di lembaga sertifikasi dan auditornya,” kata Joefly.
Sumber : Sinar Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar