Kisah Simamora adalah kisah yang sangat menarik dan mendidik. Banyak
cerita dari Simamora yang diketahui oleh masyarakat. Mungkin sebagian
dari pembaca pernah mendengar istilah “Simamora Na oto” atau
Simamora yang bodoh. Artikel ini tidak bermaksud menghina atau
melecehkan marga tersebut, Sayangnya banyak versi yang beredar di
masyarakat yang terkadang malah berbau negatif.
Artikel kali ini mencoba mengupas salah satu cerita mengenai Simamora
yang menjadi asal usul istilah “Simamora Na oto” yang sering dilekatkan
pada marga tersebut. Bagaimana sebenarnya hal ini bisa terjadi? Berikut
ini, Kisah Simamora Bagian Pertama.
Simamora menikahi seorang gadis bernama “Tuanlaen”. Dia adalah istri pertama Simamora, namun sayang, keluarga ini tidak memiiki keturunan karena Tuanlaen mandul. Namun demikian, hubungan diantaranya tetap akur. Simamora tidak pernah menuntut banyak dari istrinya. Sedangkan istrinya, Tuanlaen sering merasa sedih karena tidak bisa memberikan keturunan kepada Simamora. Sebagai orang batak yang menganut system kekerabatan Patriliniar, maka kehadiran seorang putra sangatlah diharapkan untuk dapat meneruskan marga pihak laki-laki, karena itu Tuanlaen sering menyesali dirinya yang tidak berguna dan disebutnya sebagai “lapung”.
Beberapa kali , Tuanlaen sering meminta agar Simamora menikah lagi. Namun Simamora tidak pernah tertarik untuk menikah lagi.
“Terima saja. Anggaplah ini sebagai nasib kita.” Jawab Simamora setiap kali Tuanlaen mengajukan sarannya.
“Tapi kalau kau menikah lagi, nasibmu akan berubah.”
“Siapa yang bisa menjamin?”
Mendengar itu, Tuanlaen menjadi senang dan merasa bersyukur telah mendapatkan suami yang setia.
Setelah adik laki-lakinya meninggal, Simamora mengambil usul untuk
merawat keempat anak adiknya. Dengan cara menikahi adik iparnya. Cara
ini dikenal dengan ganti tikar sebagai bentuk pertanggung jawaban
terhadap saudara. Mereka lalu tinggaL di daerah Tipang, Bakkara.
Awalnya kehidupan mereka berjalan baik. Tuanlaen merawat keempat anak
nya seperti anak sendiri, sedangkan istri baru Simamora merasa senang
karena telah terbantu. Simamora pun tidak pernah pilih kasih kepada
kedua istrinya.
Namun setelah anak-anak ini besar, situasi memburuk. Keempat anaknya
lebih menyayangi ibu kandungnya. Keadaan membuat hubungan kedua istri
ini memburuk, bahkan semakin lama keduanya semakin sulit berkomunikasi.
SIMAMORA DAN PEDAGANG GARAM.
Simamora adalah pedagang garam. Ia sering bepergian untuk waktu yang
lama meninggalkan keluarganya untuk berdagang garam. Garam - garam ini
diambilnya pesisir barat Sumatera untuk dijualnya ke beberapa pasar
yang dilaluinya seperti Pahae, Sipirok, Silindung, Doloksanggul dan jika
dagangan masih tersisa, ia akan menjualnya di Bakkara di pinggir Danau
Toba. Bakul tempat garamnya diletakkan di atas kuda beban yang menjadi
tunggangannya.
Simamora adalah orang yang ramah, dan jujur dalam berdagang. Banyak
dari orang – orang yang bertemu dengan dia merasa senang berdagang
kepadanya. Oleh karena itu, Simamora punya banyak langganan dan kenalan.
Berdagang garam tidaklah selalu mudah. Hujan menjadi masalah yang
paling utama. Ketika hujan turun, kuda – kuda akan menjadi bebal dan
tidak mau melanjutkan perjalanan. Dan bakul tempat garam pun tidaklah
cukup bagus. Bakul itu terbuat dari anyaman daun kelapa sehingga kurang
aman dari air. Kalau sudah begini, Simamora biasanya harus menginap di
rumah – rumah warga di kampung yang dilaluinya.
Suatu hari, Simamora bertemu dengan dua orang yang sama – sama
berdagang garam. Seiring berjalan waktu, ia semakin kompak dengan
keduanya dan sering pergi berjualan bersama. Simamora sendiri merasa
beruntung mempunyai teman berdagang, selain dia punya teman untuk diajak
bicara selama perjalanan, ia juga merasa terbantu untuk hal lain.
Terkadang jika musim hujan tiba, sungai – sungai meluap. Untuk
menyebrangi sungai, mereka harus menarik kuda beban karena kuda tidak
mau menyebrangi sungai. Terkadang kuda ini sangat bebal sehingga harus
ditarik oleh dua orang atau lebih.
Sepanjang perjalanan, Simamora mendapat pelanggan lebih banyak dari
kedua rekannya, karena Simamora dianggap orangnya lebih jujur dan
jualannya juga tidak terlalu mahal. Hal ini mengundang kecemburuan bagi
kedua rekannya. Sering keduanya menggerutu karena tidak mendapat
pelanggan. Terkadang mereka harus menunggu sampai dagangan simamora
habis, baru mereka kebagian pelanggan.
Kekesalan ini semakin memuncak sampai suatu ketika mereka merencanakan untuk memberi Simamora pelajaran.
Pada suatu sore, Simamora bersama kedua rekannya terpaksa menginap di
warung kopi di satu desa sebelum masuk pasar Doloksanggul karena hujan
sedang turun. Warung itu kosong pada malam hari. Pemiliknya tinggal di
kampung lain, agak jauh dari tempat itu. Setelah bakul garam diturunkan
dari punggung kuda, mereka menambatkan kuda-kudanya di dekat rerumputan
sekitar warung. Mereka bercengkrama sambil melinting tongkol jagung yang
dijadikan rokok.
Kedua rekannya yang sudah lama mencari kesempatan untuk mencelakai
Simamora merasa kalau inilah waktunya untuk memberinya pelajaran. Mereka
berencana untuk mencuri kuda dan garam – garam Simamora selagi dia
tidur. Dengan demikian, ia tidak bisa berjualan garam lagi. Berkuranglah
saingan.
Malamnya, kedua rekannya itu menyarankan agar sebaiknya mereka
bergantian jaga. Dua orang tidur sedangkan seorang lagi jaga. Demikian
lah bergantian hingga pagi tiba.
“Apa perlu begini ? Toh, selama ini juga tidak pernah terjadi apa-apa” kata Simamora.
“Itu tidak menjamin kalau disini aman selamanya.” Jawab mereka.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita menyembunyikan garam masing-masing.” Usul Simamora.
“Dimanapun kau menyembunyikannya, garammu pasti bisa ditemukan di warung yang sekecil ini.”
“Tidak mungkin bisa ditemukan.” Jamin Simamora.
“Aku tidak yakin. Bagaimana kalau aku bisa menemukan garammu?” Tanya seorang.
“Garamku menjadi milik kalian.”
“Kalau tidak ?” Tanya seorang lagi.
“Garam kalian menjadi milikku.”
“Baik.” Ketiganya pun sepakat. “Sembunyikanlah garammu.” Kata mereka.
Lalu simamora pergi membawa garamnya. Tidak sampai dua menit ia sudah
kembali. Kedua rekannya lalu menyalaminya tanda perjanjian sah.
“Bagaimana kalau kuda kita pertaruhkan juga?” Usul mereka berdua
karena merasa yakin garam tersebut tidak jauh disembunyikan mengingat
waktu yang diambil Simamora tidak lama.
“Boleh juga” tantang Simamora
“Baiklah” sambut mereka.
Malam itu Simamora tidur dengan lelapnya. Seperti tidak ada yang
sedang dipikirkannya. Berbeda dengan kedua rekannya yang tidak sabar
menunggu pagi tiba. Mereka yakin sekali garam itu disembunyikan di
dapur. Mereka ingin sekali langsung mencari garam tersebut dan membawa
kuda Simamora pergi. Tapi mereka harus berlaku adil sesuai perjanjian.
Pagi – pagi benar mereka sudah bangun. Ingin rasanya cepat – cepat
menemukan garam tersebut. Akan tetapi untuk menunjukkan kalau mereka
berlaku adil, mereka menunggu hingga Simamora bangun. Setelah simamora
bangun, ketiganya melinting rokok. Lalu masing – masing menikmatinya
tanpa ada yang berselera memulai bicara. Rokok semakin pendek dan
setelah api rokok menyentuh jari, keduanya mengingatkan simamora tentang
kesepakatan mereka.
“Silahkan cari.” Kata simamora singkat.
“Sebaiknya kita naikkan dulu beban kuda kita.” Kata seorang
“Bagus juga.” Balas yang seorang lagi. “Kuda yang ketiga tinggal dimuat lalu dituntun.”
“Aku khawatir kalian tidak kembali lagi karena malu.” Simamora tersenyum simpul.
Keduanya tidak menjawab. Mereka langsung bergegas. Mereka memulainya
dengan menyisir dapur, sekitar rumah, hingga kebun. Dapur penuh dengan
barang – barang yang ditumpuk begitu saja. Ternyata tidak ada. Di kebun,
sekitar sumur hingga sekitar kampung juga tidak ada. Mereka kembali ke
dapur membongkar barang-barang yang ditumpuk. Tetapi tetap tidak ketemu.
“Dua menit. Mungkinkah keluar kampung?” Tanya yang satu.
“Kalau berlari, bisa juga…” sahut yang satu sambil menggaruk – garuk kepalanya.
Lalu mereka memeriksa bambu bambu pembatas kampung. Tetapi tetap saja
tidak ada. Semak belukar, tumpukan sampah juga tidak lepas dari
penggeledahan mereka. Tanpa disadari mereka sudah cukup jauh keluar dari
desa.
Setelah menunggu cukup lama, Simamora memeriksa. Tetapi rekannya
belum kembali juga.
Hanya ada tukang warung yang baru sampai dan sedang
menjerangkan air dari sumur. Si Tukang warung merasa heran melihat
banyaknya barang yang berantakan di dapur. Sebelum ia sempat menanyakan
tentang barang – barang tersebut, Simamora telah pergi membawa kedua
kuda dan garam – garam rekannya itu.
Walau kaget dengan kondisi dapur yang berantakan, si pemilik warung
tidak langsung memeriksanya. Ia terlebih dahulu menjerangkan air karena
pagi – pagi biasanya banyak pengunjung yang ingin minum kopi. Tukang
warung memeriksa dapur yang diobrak – abrik entah oleh siapa. Dan entah
untuk apa. Ia tidak melihat adanya barang – barang yang hilang. Untuk
memastikan perasaannya, ia menghitung seluruh jumlah karung padi di
lumbung, kemudian alat – alat pertanian, tidak ada yang hilang. Sambil
mengira – ngira apa yang telah terjadi, ia merapikan barangnya.
Air telah mendidih dan dia segera melayani langganannya. Tanpa
menceritakan kejadian di dapurnya. Tak lama kedua pedagang yang kalah
taruhan telah kembali. Mereka mendapati kalau Simamora sudah pergi
bersama kuda – kuda dan keempat bakul garam yang telah dimenangkannya.
Saat itu di warung sedang ada desas desus antara pengunjung. Keduanya
yang tidak tahu apa yang sedang terjadi tidak terlalu memperdulikannya.
“Kopi dua !” pesan mereka.
Tak lama berselang seseorang diantara pengunjung angkat bicara.
“Koq kopinya asin?” katanya
Kedua pedagang yang mendengar hal itu saling berpandangan. Seperti
akan mengatakan sesuatu. Buru – buru keduanya mencicipi kopi mereka.
“Benar ! Kopinya asin !”
“Sungguh, disini tidak ada tempat garam.” Kata yang punya warung. “Gelas dan sendok sudah saya cuci. Mana mungkin bisa asin?”
“Jangan – jangan…” gumam seorang pedagang itu.
“Jangan – jangan simamora menyembunyikan garam di dalam sumur !”
Keduanya langsung melompat dari tempat duduknya dan memeriksa sumur
di belakang warung. Galah dijulurkan ke dalam dan dua buah bakul
berhasil diangkat dari dalam. Warga di sekitar mengenali bakul tersebut
sebagai bakul garam yang biasa dibawa Simamora.
“Lihat !” Kata salah satu pedagang tersebut. “Ini bakul Simamora. Dia benar – benar bodoh, menyembunyikan garam di dalam sumur.”
“Kenapa ?” Tanya seorang dari kerumunan itu.
“Karena dia takut garamnya dicuri orang.” Jawab rekan pedagang itu.
“Bodoh benar (oto ma i)” piker orang – orang di warung itu.
“Memang bodoh” ucap kedua pedagang itu. Mereka melakukannya untuk menyembunyikan kemalangan mereka yang telah kalah taruhan.
Berita tentang garam masuk sumur ini langsung cepat menyebar. Kedua
pedagang ini juga menceritakan tentang “simamora yang bodoh” (Simamora na oto) kepada setiap orang yang ditemuinya. Namun tidak pernah menceritakan bahwa Simamora yang membodohi mereka.
Baenjo taromboni purbai.asa boi hulului sambunganni tarombokku appara.adong nahurang manangna daong.asa boijo huida urutan nadenggan.
BalasHapus