Perubahan
iklim global diyakini memiliki dampak yang luas pada berbagai aspek kehidupan
manusia di dunia. Perubahan iklim dipicu oleh peningkatan konsentrasi gas rumah
kaca (GRK) di atmosfer bumi. Deforestasi adalah penyumbang terbesar emisi GRK
di Indonesia, terutama di lahan gambut. Salah satu upaya untuk melakukan
tindakan mitigasi perubahan iklim adalah melalui program REDD+. REDD+ (Reduksi
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut Plus) merupakan
mekanisme insentif ekonomi yang diberikan kepada negara berkembang untuk
mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan dalam rangka pengurangan emisi karbon.
Ada
dua alasan penting bagi Indonesia untuk melaksanakan program REDD+, pertama
adalah karena Indonesia merupakan salah satu pemilik hutan tropis terluas di
dunia (131,3 juta hektar). Kedua, Indonesia merupakan negara kepulauan
sehingga sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.Kegiatan REDD+ di Indonesia meliputi hal-hal berikut: 1). Penurunan emisi dari deforestasi; 2). Penurunan emisi dari degradasi hutan dan/atau degradasi lahan gambut, 3) Pemeliharaan dan peningkatan cadangan karbon melalui: konservasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management), rehabilitasi dan restorasi kawasan yang rusak dan 4) Penciptaan manfaat tambahan bersamaan dengan peningkatan manfaat dari karbon melalui: peningkatan kesejahteraan masyarakat local, peningkatan kelestarian kenakeragaman hayati dan peningkatan kelestarian produksi jasa ekosistem lain.
Dalam
STRANAS REDD+, dijelaskan bahwa ruang lingkup REDD+, sesuai dengan pasal 1(b)
dan 1(c) dari UU 41/2009 tentang Kehutanan, skema REDD+ dilaksanakan dalam
lawas lahan berhutan dan kawasan APL (Area Penggunaan Lain). Lahan APL sebagian
besar digunakan untuk perkebunan sawit dan karet. Selain di APL, hutan rakyat
seharusnya juga diperhitungkan sebagai salah satu kegiatan REDD+, karena sama
halnya dengan tipe hutan yang lain, hutan rakyat dapat memberikan kontribusi
dalam penyerapan karbon karena secara alamiah proses fotosintesis tumbuhan
membutuhkan CO2.
Selama
ini belum banyak tersedia data berapa kontribusi kegiatan penurunan emisi
yang terkait dengan REDD+ di dalam kawasan hutan dan berapa dari luar kawasan
hutan dalam penurunan emisi GRK. Forest Carbon Partnership Facility (FCPF),
melaksanakan kegiatan penelitian “Identifikasi Kegiatan Yang Mengurangi Emisi
Karbon Melalui Peningkatan Serapan Karbon Dan Stabilisasi Simpanan Karbon
Hutan”/(Identification Of Activities Within The Country That Results In Reduced
Emissions And Increased Removals, And Stabilization Of Forest Carbon Stocks).
Kegiatan dilaksanakan sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2013. Lokasi
penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan, Jawa Timur, Papua, dan
Kalimantan Timur. Pemilihan provinsi tersebut sebagai sampel penelitian
didasarkan pada pertimbangan karakteristik hutan dan masyarakat yang mewakili
empat pulau besar di Indonesia. Provinsi Sumsel mewakili Pulau Sumatera dan
Kaltim mewakili Pulau Kalimantan, kedua pulau tersebut mewakili wilayah hutan
yang deforestasinyanya cenderung stabil. Provinsi Papua mewakili Pulau Papua,
dimana deforestasinya masih besar dan terus terjadi. Jawa Timur mewakili Pulau
Jawa, mewakili wilayah dengan kecenderungan peningkatan tutupan hutan
(peningkatan luas hutan rakyat).
Penelitian
ini dilaksanakan dengan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu kegiatan yang menyerap karbon dari atmosfer dan
kegiatan yang menstabilkan simpanan karbon hutan baik di dalam kawasan hutan
maupun di luar kawasan. Kegiatan peningkatan serapan karbon di dalam
kawasan yang dianalisis adalah kegiatan restorasi ekosistem, HKm, RHL, Hutan
Desa, HTR dan HTI, sedangkan kegiatan peningkatan serapan karbon di luar
kawasan : perkebunan sawit, karet dan hutan rakyat. Kegiatan
stabilisasi simpanan karbon di dalam kawasan yang dianalisis meliputi :
pengendalian pembalakan liar, pencegahan kebakaran hutan, pengendalian
perambahan hutan dan pencegahan konversi hutan.
Kajian
dianalisis dengan menggunakan pendekatan gabungan (mixed method), yaitu
menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Kegiatan-kegiatan tersebut
dianalisis struktur kelembagaannya, proses operasionalisasinya, dan kinerjanya.
Berdasarkan kinerja kegiatan-kegiatan tersebut kemudian dilakukan estimasi
penyerapan atau stabilisasi simpanan karbon yang dihasilkan dari
kegiatan-kegiatan tersebut. Baseline data BAU didekati dengan cara
menghitung rata-rata tahunan realisasi setiap kegiatan hingga tahun 2011.
Dengan asumsi bahwa perkembangannya tetap, maka diperoleh data BAU untuk tahun
2020. Data mitigasi diperoleh dari target yang dicanangkan oleh pemerintah
untuk setiap kegiatan hingga tahun 2020. Selisih antara data mitigasi dan BAU
tersebut kemudian dikalikan dengan faktor emisi dan dianggap sebagai potensi
peningkatan serapan atau stabilisasi simpanan karbon.
Penelitian ini penting untuk mengkuantifikasi komitment Indonesia dalam menurunkan emisi GRK sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% dengan dukungan internasional. Penelitian juga dapat dipakai untuk menentukan dan mengevaluasi kegiatan mana saja yang paling efektif dan efisien dalam penurunan emisi.
Sumber : http://fcpfindonesia.org/berita-145-.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar